SEKALIPUN pemerintah pusat mengizinkan perusahaan pertambangan
emas beroperasi di daerah kami, kami tetap akan menolaknya karena
Pegunungan Meratus merupakan hutan lindung, napas kami, dan paru-paru
dunia," kata warga Dayak Meratus di Kecamatan Hampang, Kota Baru,
Kalimantan Selatan.
TUNTUTAN itu mewakili sekitar 750 perwakilan warga Dayak Meratus dari 300 balai (rumah besar pusat kegiatan adat) yang tersebar di seluruh Kalsel. Mereka baru saja menggelar kongres selama empat hari yang berakhir Kamis (26/6). Salah satu rekomendasi dari kongres adalah menolak apa pun bentuk eksploitasi terhadap Hutan Lindung Pegunungan Meratus (HLPM). Di antara pengeksploitasinya adalah perusahaan pertambangan emas PT Meratus Sumber Mas (PT Placer Dome Indonesia dan PT Scorpion Placer Dome). Perusahaan itu baru saja mendapat izin dari pemerintah pusat untuk menambang di hutan lindung bersama 14 perusahaan lainnya di seluruah Indonesia. Walaupun penolakan masyarakat adat pernah dilontarkan sebelumnya, suara-suara itu toh dianggap tidak ada. Menurut warga Kecamatan Hampang Kota Baru yang ketempatan pertambangan itu, Ardiansyah, mereka menolak kehadiran perusahaan itu karena daerah tersebut merupakan HLPM. Lokasi tambang itu juga merupakan tempat warga Dayak Meratus mencari buah-buahan, madu, dan hasil hutan lainnya. Di sekitar lokasi tambang itu juga ada sumber mata air sekaligus daerah tangkapan air daerah aliran sungai (DAS) berbagai penjuru wilayah. "Di situ juga ada hutan keramat yang harus kami jaga kelestariannya," kata Ardiansyah. Lalu, apakah pernyataan kongres masyarakat adat Dayak Meratus itu bisa dijadikan bekal untuk menolak kehadiran perusahaan penambangan emas itu? Para anggota DPRD Kalsel pun menganggap masalah itu wewenang pemerintah pusat. Peluang dukungan dari anggota DPRD Kalsel memang ada, namun secara kelembagaan sangat kecil. Track record DPRD Kalsel sendiri juga buruk, mengingat DPRD Kalsel-lah yang membuat Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2000 yang menjadikan areal hutan lindung bisa disulap menjadi hutan produksi. ***
LALU, kekuatan apa lagi yang bisa ÆmembekingiÆ Dayak Meratus
untuk ÆmelawanÆ keputusan pemerintah pusat? Koordinator Aliansi Meratus Muhammad Saleh berharap perjuangan masyarakat adat berlanjut, karena langkah itu didukung konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 169 tentang Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-negara Merdeka. Jika negara tetap menjadikan HLPM sebagai areal tambang sementara, masyarakat adat menolaknya, perbuatan itu bertentangan dengan konvensi ILO No 169, terutama Pasal 7 Ayat (1). Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa masyarakat adat memiliki hak menolak pembangunan yang tidak sesuai dengan prioritas mereka. Masyarakat adat berhak mempunyai prioritas sendiri yang menyangkut proses pembangunan, mengingat hal itu akan mempengaruhi kehidupan, kepercayaan, lembaga-lembaga, dan keadaan spiritual mereka dan tanah yang mereka tempati atau yang mereka pergunakan, dan untuk menjalankan kontrol, sejauh mungkin dilakukan, terhadap pembangunan ekonomi, sosial dan budaya mereka sendiri. Masyarakat adat seharusnya juga diikutkan dalam setiap pembentukan, pelaksanaan, dan evaluasi dari rencana-rencana atau program-program pembangunan regional maupun nasional yang akan membawa pengaruh bagi mereka secara langsung. Namun, semua itu tak pernah dilakukan terhadap Dayak Meratus. *** BEGITULAH ironi yang terjadi di negeri ini. Dayak Meratus yang hanya dipandang sebelah mata oleh warga kota karena dianggap sebagai suku terpencil dan suku terasing, justru secara sadar dan waras mati- matian menyampaikan pembelaannya terhadap HLPM. Sebaliknya yang terjadi, negara yang dianggap memegang representasi tertinggi dalam penentuan kebijakan dan mempunyai segudang ilmuwan kelas kakap, ternyata tingkat kearifannya hanya kelas teri. Kalau begitu, yang menjadi pertanyaan krusial Dayak Meratus adalah: fungsi negara itu untuk perusahaan atau untuk rakyat? Pertanyaan penting itu, dan sekarang mulai menjadi pernyataan, tertulis dalam spanduk besar di ruangan kongres. Bunyinya, "Kalau Negara Tidak Mengakui Kami, Kami pun Tidak Akan Mengakui Negara" yang diambil dari pernyataan Kongres Masyarakat Adat Nusantara tahun 1999. Deklarasi itu jangan diartikan Dayak Meratus akan lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bukan juga menempatkan Dayak Meratus sebagai pro-golongan putih (golput) saat pemilihan umum. Deklarasi itu sekadar mempertanyakan peran negara sejauh ini terhadap keberlangsungan Dayak Meratus dan lingkungannya. Dayak Meratus yang ditemui di kongres maupun yang didatangi sampai ke balai masih mempertanyakan peran negara terhadap kemajuan kehidupan adat mereka. Pertanyaan peran ini menjadi pertanyaan berabad-abad yang hingga kini belum terjawab, dan negara sendiri tampaknya tak mau ambil pusing untuk menjawabnya. Terbukti hingga sekarang Indonesia belum meratifikasi konvensi ILO 169. Padahal, konvensi itu penting untuk pengakuan hak kolektif dan kearifan masyarakat adat. Termasuk hak menentukan jati diri, hak beragama sesuai pilihan, dan hak menentukan pendidikan yang sesuai norma adat mereka. Kementerian Riset dan Teknologi pernah mempunyai program perlindungan pengetahuan tradisional yang meliputi tari-tarian, seni ukir dan pahat, seni tenunan, arsitektur tradisional, pemuliaan tanaman, serta tentang metode pengobatan serta pengetahuan tanaman obat-obat. Namun, hingga kini program itu belum membantu menyadarkan pemerintah akan arti kekayaan masyarakat adat. Padahal, memasuki perdagangan bebas ilmuwan asing bisa lalu-lalang ke pedalaman menyerobot kekayaan alam dan pengetahuan adat yang tersembunyi itu. *** TAHUN 2003 memang dapat dikatakan sebagai tahun pengharapan bagi masyarakat adat Dayak Meratus. Dengan dukungan kaum intelektual kota, mereka merasa percaya diri untuk tampil di hadapan umum dan menuntut keadilan. Sosiolog yang kini sedang meneliti gerakan masyarakat adat Kalsel, George Junus Aditjondro, mengakui bahwa kini gerakan masyarakat Dayak Meratus semakin solid dibandingkan pada tahun 1980. George yang hadir dalam kongres masyarakat adat Kalsel mengungkapkan kesolidan itu terbentuk karena ada dukungan masyarakat kota. "Waktu saya ke balai Dayak tahun 1980, warga kota masih menganggap citra suku Dayak sebagai suku bukit primitif yang mempunyai ilmu aneh-aneh sehingga orang kota menghindari ke pedalaman," katanya. Kini pencitraan terhadap Dayak Meratus semakin baik. Warga kota mendukung gerakan mereka yang akan menjaga HLPM. Karena jika HLPM terganggu, sungai di Banjarmasin juga akan terimbas. "Jadi, warga Dayak Meratus punya kepentingan menjaga budaya hutan, sedangkan suku Banjar mempunyai kepentingan menjaga budaya sungai. Dua sinergi ini saling mendukung untuk menjaga HLPM," kata George. Oleh karena itu, akan aneh sekali jika warga kota menolak menjaga HLPM. Sepanjang pengamatannya, George Aditjondro menyatakan, gerakan masyarakat adat Kalsel adalah gerakan murni menjaga lingkungan dan menuntut hak adat mereka, tidak lebih dan tidak kurang. Namun, ketika untuk pertama kalinya Dayak Meratus mulai mempunyai kepercayaan diri untuk sejajar dengan warga lainnya, sebuah kejadian ala Orde Baru terulang. Salah satu pengurus Persatuan Masyarakat Adat Dayak Meratus (Permada) seusai kongres ÆdipanggilÆ aparat. Koordinator Aliansi Meratus Muhammad Saleh mengatakan, pengurus Permada sepulangnya dari kongres bertemu dengan aparat Bintara Pembina Desa (Babinsa) di Desa Labuhan, Batang Alai Selatan, Hulu Sungai Tengah. Dia kemudian dibawa ke Kodim Barabai Hulu Sungai Tengah. "Di Kodim dia ditanya macam-macam seputar aktivitasnya selama ini," kata Saleh. Pengurus Permada tadi diintimidasi agar tidak meneruskan kegiatannya. Lucunya, aktivitas pengurus tadi dikategorikan mengancam integrasi bangsa dan menyesatkan, serta membuat masyarakat Kalimantan akan bermusuh-musuhan. Kongres adat itu juga dianggap sebagai langkah untuk membentuk Kalimantan Merdeka. "Masak, orang Dayak yang lugu dianggap akan membuat gerakan yang menyesatkan dan akan membuat Borneo Merdeka," kata Saleh sambil tertawa. Walaupun di telinga Saleh isi materi interogasi menggelikan, bagi warga Dayak Meratus interogasi itu menakutkan. Padahal, kongres itu sendiri mendapat sambutan baik dari Gubernur Sjachriel Darham yang waktu itu juga menjadi pembicara. Oleh karena itu, masyarakat kota dan masyarakat adat berharap agar bentuk-bentuk intimidasi untuk menghentikan langkah Dayak Meratus mengonservasi HLPM. Di negeri ini memang banyak ironi. Masyarakat yang dengan sadar melakukan konservasi hutan mendapat intimidasi, sementara yang merusaknya mendapat uang. Entah apakah ironi itu akan berlanjut atau tidak. |
Anak Meratus 2011
Kamis, 13 Oktober 2011
DAYAK MERATUS MENJAGA HUTAN, NEGARA MERUSAKNYA
Sabtu, 23 April 2011
Upacara Syukuran Suku Dayak Meratus .
sumber poto:
Memperkenalkan upacara syukuran adat yang dilaksanakan suku Dayak Meratus di provinsi Kalimantan Selatan. Dayak Meratus merupakan kelompok masyarakat Dayak yang hidup dan menetap di desa Kiyu,Kecamatan Batang Alai Timur kabupaten Hulu Sungai Tengah provinsi Kalimantan Selatan. Setiap tahun, suku Dayak Meratus ini menyelenggarakan upacara syukuran adat yakni Aruh Ganal. Seperti tahun sebelumnya, tradisi ini dilaksanakan setiap pertengahan tahun setelah musim panen raya padi tiba, sekitar bulan Juli hingga Agustus. Bagi suku Dayak Meratus, ritual ini diyakini dapat menjauhkan mereka dari bencana gagal panen. Melalui ritual inilah, mereka juga memohon kepada Sang Pencipta agar di musim tanam berikutnya, tanaman mereka terhindar dari hama penyakit dan memperoleh hasil panen yang melimpah.
Bagi suku Dayak Meratus, pelaksanaan tradisi ini memiliki arti penting. Begitu kuatnya kepercayaan mereka terhadap arti tradisi ini, jauh hari sebelum tradisi dilaksanakan, segala kebutuhan tradisi telah disiapkan. Di dalam sebuah balai adat yang bentuknya seperti rumah panggung, mereka biasanya merencanakan rangkaian acara tradisi.
Para sesepuh adat mengawalinya dengan menentukan hari pelaksanaan tradisi. Biasanya, awal bulan di pertengahan tahun selalu menjadi pilihan waktu pelaksanaan tradisi. Mereka percaya, jika Aruh Ganal digelar pada awal bulan, jumlah hasil panen di tahun berikutnya akan semakin melimpah. Percaya atau tidak, itulah kepercayaan suku Dayak Meratus yang sejak dulu hingga kini masih dilaksanakan.
Para sesepuh adat mengawalinya dengan menentukan hari pelaksanaan tradisi. Biasanya, awal bulan di pertengahan tahun selalu menjadi pilihan waktu pelaksanaan tradisi. Mereka percaya, jika Aruh Ganal digelar pada awal bulan, jumlah hasil panen di tahun berikutnya akan semakin melimpah. Percaya atau tidak, itulah kepercayaan suku Dayak Meratus yang sejak dulu hingga kini masih dilaksanakan.
Tradisi Aruh Ganal biasanya dilaksanakan selama 5 hingga 12 hari. Penentuan itu berdasarkan pada jumlah hasil panen yang mereka peroleh selama satu tahun. Jika hasil panen di tahun ini melimpah, tradisi dilaksanakan hingga 12 hari. Namun jika jumlah panen dinilai tidak terlalu banyak jika dibandingkan hasil tahun sebelumnya, Aruh Ganal hanya dilaksanakan selama 5 hari berturut. Bahkan jika jumlah panen mereka hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, tradisi ini dilaksanakan hanya dalam 1 hari 1 malam saja.
Setelah hari baik telah ditentukan, suku Dayak Meratus mulai mempersiapkan kebutuhan tradisi satu hari sebelum Aruh Ganal dilaksanakan. Kaum wanita bertugas mempersiapkan hidangan untuk para peserta ritual dan tamu undangan, seperti memasak lamang. Lamang merupakan beras ketan yang telah dicampur santan kemudian dimasukkan ke dalam buluh bambu dan dibakar hingga matang. Sementara kaum lelaki, menghias Balai Adat dengan berbagai jenis bunga dan janur kelapa. Nantinya, di Balai Adat inilah, tradisi Aruh Ganal dilaksanakan. Tak terlewatkan, mereka juga mengundang suku Dayak dari kampung lain dan para pejabat pemerintah setempat untuk hadir dalam upacara adat Aruh Ganal.
Ketika hari tradisi Aruh Ganal tiba, semua warga Dayak Meratus beserta tamu undangan berkumpul di Balai Adat di desa Kiyu. Saat pelaksanaan tradisi, tidak ada satupun warga Dayak Meratus yang umumnya petani bekerja di ladang. Secara khusus, mereka membuat hari itu sebagai hari libur untuk bekerja. Jika tradisi ini dilaksanakan selama beberapa hari, dalam beberapa hari itu pula, suku Dayak Maratus menjadikannya sebagai hari libur.
Biasanya, rangkaian tradisi Aruh Ganal dimulai ketika hari menjelang malam. Dalam tradisi ini, yang menjadi pemimpin yakni Damang, sebutan bagi ketua adat kampung Dayak Meratus. Ketika Damang membaca mantera dan membakar kemenyan, tradisi Aruh Ganal-pun dimulai. Dalam bahasa Dayak, para peserta tradisi membaca doa kepada Sang Pencipta. Tepat di tengah Balai Adat terdapat sesaji yang khusus dijadikan persembahan kepada leluhur desa.
Setelah berdoa, Damang mulai melakukan ritual pemanggilan roh para leluhur. Suara tabuhan gendang yang dimainkan oleh empat orang wanita Dayak menjadi media pemanggilan roh. Ketika beberapa orang warga Dayak Meratus tampak tidak sadarkan diri, saat itulah roh leluhur diyakini masuk ke dalam tubuh mereka. Tanpa ada yang memerintah, mereka berdiri dan menari mengelilingi sesaji yang diletakkan di tengah Balai Adat. Seperti memperoleh kekuatan supranatural, mereka menari tanpa henti hingga hari menjelang pagi. Sementara mereka menari, Damang beserta peserta tradisi yang lainnya membaca doa tanpa henti hingga malam berganti pagi.
Setelah matahari terbit, Damang kembali membakar kemenyan dan membaca mantera. Dengan bantuan Damang itulah, beberapa peserta tradisi yang malam sebelumnya kerasukan roh leluhur, kembali sadar. Ketika itu, warga Dayak percaya, roh leluhur telah hadir dan ikut dalam pesta Aruh Ganal. Acara tradisi kemudian dilanjutkan dengan makan bersama. Menu utama dalam tradisi ini yakni Lamang atau nasi ketan berbungkus buluh bambu yang telah disiapkan sebelumnya. Tanpa ada perbedaan status sosial, setiap peserta tradisi memperoleh lamang dalam jumlah yang sama.
Tanpa membedakan berapa hari tradisi Aruh Ganal dilaksanakan, berdoa, menari, serta makan bersama menjadi rangkaian acara yang rutin dilaksanakan mulai dari hari pertama tradisi hingga tradisi ini usai. Jika tradisi ini dilaksanakan selama 5 hari, suku Dayak Meratus merayakannya selama 5 hari 5 malam tanpa henti. Begitu juga ketika tradisi Aruh Ganal ini berlangsung selama 12 hari. Ketika hari tradisi telah mencapai hari terakhir, ritual Aruh Ganal diakhiri dengan acara pemberian sedekah.
Ketika hari tradisi Aruh Ganal usai, suku Dayak Meratus memberikan beberapa bagian dari hasil panen yang telah mereka peroleh kepada warga dari kampung lain. Tidak ada ketentuan khusus, berapa bagian yang harus diberikan, tergantung pada keikhlasan dari warga Meratus sendiri. Bagi suku Dayak Meratus, tradisi ini bukan hanya sebagai perayaan syukur, melainkan juga simbol mempererat persaudaraan dan saling berbagi kepada sesama. Keesokan hari, setelah pelaksanaan tradisi Aruh Ganal usai, warga Dayak Meratus kembali melaksanakan akifitas keseharian mereka seperti biasa yakni berladang dan berburu di hutan.
Petani Dayak Meratus Peduli Lingkungan
Sumber photo:
Masyarakat Suku Dayak yang tinggal di kawasan Pegunungan Meratus, yang merupakan bagian dari penduduk asli Kalimantan Selatan, terus mempertahankan cara bertani mereka yang memperhatikan lingkungan.Cara bertani komunitas masyarakat adat terasing di kawasan Meratus Kalsel itu, selain sarat dengan nuansa ritual, mereka sangat menghormati kelestarian lingkungan.Oleh karena itu, kata seorang tokok Dayak, kurang tepat kalau ada pihak yang menuduh masyarakat adat Dayak sebagai perusak lingkungan, seperti munculnya kabut asap sebagaimana terjadi beberapa tahun belakangan.
Memang komunitas dayak, yang oleh warga daerah hulu sungai atau "Banua Anam" Kalsel disebut orang bukit itu pada tempo dulu merupakan peladang berpindah.Mereka, kata Adit, dulu selalu menebang hutan dan membakarnya untuk menyiapkan lahan untuk berladang. Mereka melakukan kegiatan itu untuk keperluan "manugal" atau menanam padi di lahan kering. Namun sebagaimana, kata tokoh dayak di Harungan, Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalsel, itu, perputaran dalam sistem perladangan berpindah yang dilakukan pendahulunya itu minimal memakan waktu sekitar 15 tahun."Dengan kurun waktu 15 tahun atau lebih itu, bekas perladangan tersebut bisa menghutan kembali. Karena seiring manugal’,adat mengharuskan masyarakat menanam bibit pohon sebagai pengganti hutan yang ditebang,"ujarnya Pepohonan tersebut berupa pohon yang bisa besar dan daunnya rimbun, seperti meranti dan ramin.Pada umumnya. penanaman pepohonan jenis kayu hutan itu bercampur dengan tananam yang menghasilkan buah, seperti durian, kemiri, dan pohon langsat. Kelak, hasil hutan itu bisa berguna bagi generasi mendatang.Menurut dia, ada pula yang menjadikan bekas ladang itu menjadi kebun karet, yang penanamannya bersamaan saat menugal atau saat lahan masih bersih dan sehabis panen padi.Mengenai pembakaran lahan untuk persiapan berladang, warga Dayak tidak sembarangan. Sebelum melakukan pembakaran pepohonan yang mereka tebang, terlebih dahulu melakukan penumpukan dan membuat sekat-sekat agar api tidak menjalar ke lain tempat. Selain itu, sebelum melakukan pembakaran lahan, warga Dayak meratus terlebih dahulu memperhitungkan waktu tibanya musim penghujan."Pada menjelang musim penghujan tersebut, mereka melakukan pembakaran, sehingga kabut asap tidak menyebar ke mana-mana," Untuk memperkirakan musim penghujan bakal tiba, mereka melihat tanda-tanda alam, seperti letak bintang "haur bilah" (empat bintang dengan bentuk posisi seperti layang-layang) serta fenomena alam lainnya, antara lain sarang laba-laba dan pohon lurus (sungkai).
Wanang Dalam kegiatan bertaninya, Dayak Meratus memiliki tradisi yang disebut "wanang" atau bawanang", tradisi bersifat ritual berupa acara selamatan untuk memohon dan menyatakan syukur kepada Sang Hyang, yang menguasai dan mengatur alam semesta.Sebagai contoh, sebelum "manugal", mereka terlebih dahulu mengadakan acara selamatan yang disebut "wanang umang",selamatan sebelum benih padi dimasukan ke dalam lubang. Kemudian menjelang panen, mereka terlebih dahulu mengadakan "wanang sambu", selamatan untuk memulai panen.
Ketika selesai panen dan padinya sudah masuk dalam "lulung",lumbung terbuat dari kulit kayu tahan hujan, mereka kembali mengadakan acara selamatan yang disebut "aruh ganal" (pesta besar) sejak tempo dulu, masyarakat Dayak Meratus tak akan menikmati hasil panen pada tahun tersebut kecuali sesudah mengadakan selamatan.Acara "bawanang" dipimpin seorang tokoh masyarakat Dayak yang memiliki ilmu tinggi dari kepercayaan mereka, yaitu pemuka agama yang disebut "balian"dan pelaksanaan kegiatan tersebut secara gotong-royong.Pada acara "bawanang" selalu tak ketinggalan jenis makanan berupa "lamang", nasi ketan bakar dalam bumbung bambu
Senin, 18 April 2011
Kearifan Lokal Dayak Jaga Anggrek Meratus
Sumber photo:
Tak bisa dipungkiri Meratus kini telah dikenal sebagai surganya anggrek, tidak hanya di dalam negeri tapi juga didunia internasional.Bahkan dalam sebuah film mancanegara pernah mengisahkan tentang pencarian anggrek langka di tanah Borneo ini.Di sepanjang pegunungan Meratus ini pula lah masyarakat adat Dayak Meratus tinggal. Suku Dayak Meratus atau suku Bukit inilah yang tinggal dan hidup berdampingan dan mengelola kawasan hutan Meratus dengan kearifan lokal yang masih kental hingga saat ini.
Masyarakat adat Dayak Meratus tidak memiliki orientasi materialis dan sifat kompetitif. Sumber daya alam yang mereka butuhkan, hanya diambil secukupnya sesuai kebutuhan dan kemampuan. Meskipun Kearifan lokal Dayak tidak mengenal istilah konservasi, namun sejak turun-temurun ternyata sudah mempraktekkan aksi pelestarian terhadap tumbuhan dan hewan secara mengagumkan. sebagai contoh menentukan suatu kawasan atau situs yang dikeramatkan secara bersama-sama. Kearifan lokal seperti itu, terbukti ampuh menyelamatkan suatu kawasan beserta isinya dengan berbagai bentuk larangan yang disertai dengan sanksi adat bagi yang melanggarnya. Bagi mereka yang melanggar ketentuan tersebut akan dikenai denda yang besarnya ditetapkan oleh kepala adat setempat. Kenyataannya, kearifan lokal seperti ini terbukti mampu menghambat lajunya kerusakan alam akibat pembalakan liar.
Kearifan Lokal sering kali tidak lepas dengan hal-hal tabu atau hal-hal yang dilarang, mitos, maupun religi. Kasus lain yang didalamnya sarat akan kearifan lokal ialah adanya anggapan bahwa paku tanduk rusa (platycerium) sebagai tumbuhan tempat bersemayamnya roh halus/hantu tak heran jika kita tidak menemukan masyarakat setempat yang menanam tanaman ini. Hal ini berlaku pula untuk tanaman Paku Sarang Burung Baik dari genus Asplenium ataupun Drynaria
.
Dalam hal menjaga kelestarian anggrek Meratus erat kaitannya dengan kebiasaan atau Kearifan lokal masyarakat Dayak Meratus dalam menjaga Hutan yang merupakan habitat bagi Anggrek.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan LPMA Borneo Selatan, masyarakat adat Dayak Meratus memberlakukan wilayah ’katuan larangan’ (hutan larangan). Dalam wilayah itu, segala aktivitas pemanfaatan lahan seperti ’bahuma atau manugal’ (bertani atau berladang) tidak diperbolehkan.
.
.
Katuan larangan’ diperuntukkan dan diyakini sebagai tempat bersemayamnya arwah leluhur. Pohon di wilayah itu tidak boleh di tebang. Pemanfaatan hutan hanya sebatas hasil hutan non kayu. Wilayah itu biasanya terletak di ketinggian diatas 700 meter dari permukaan laut. Pada ketinggian inilah hidup anggrek yang tumbuh baik pada suhu hangat 26-35°C pada siang hari dan 18-24°C pada malam hari misalnya jenis Phalaenopsis, Vanda dan Dendrobium.
Ada lagi wilayah ’katuan adat’ (hutan adat). Wilayah tersebut milik Balai yang sebagian boleh dibuka untuk ’bahuma’. Masyarakat sekitar Balai diperbolehkan menebang pohon untuk kebutuhan membangun rumah dan kayu bakar di wilayah itu.
Di wilayah ’katuan adat’ boleh ditanami tanaman perkebunan atau tanaman keras setelah tidak lagi dipergunakan untuk ’bahuma’. Masyarakat setempat menyebutnya dengan istilah ’jurungan’ atau wilayah bekas ladang yang ditinggalkan untuk kemudian didatangi kembali.
Sungguh hubungan manusia dengan alam yang sangat harmonis, sayangnya kearifan lokal ini tidak dimiliki oleh masyarakat pada umumnya sehingga intervensi dan kegiatan ilegal di Hutan Meratus masih tetap terjadi. Sehingga mengancam habitat anggrek yang berujung pada terancamnya spesies anggrek-anggrek Meratus, sudah sepatutnya ‘Ratu para bunga’ Meratus ini perlu mendapat perhatian lebih serius lagi, terlebih untuk spesies-spesies yang kini mulai langka seperti Phalaenopsis amabilis pelaihari dan Spatoglothis zurea.
Selasa, 29 Maret 2011
Kaharingan, Kepercayaan Dayak Meratus yang Terancam Punah
Kaharingan merupakan kepercayaan yang dianut masyarakat adat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan yang kini terancam punah. Kepercayaan itu tidak tertuang dalam sebuah kitab suci sebagaimana agama lain yang berkembang di Indonesia, melainkan berkembang lewat budaya bertutur oleh tetua adat atau mereka yang memiliki kemampuan khusus.
Agama kepercayaan. Kaharingan pada masyarakat adat Dayak Meratus dituturkan secara khusus oleh Tetua adat yang terpilih sehingga tidak semua orang bisa dan mampu mempelajarinya. Selain itu, pada masyarakat adat Dayak Meratus memang tidak ada guru khusus yang bertugas memberikan pelajaran tentang agama, sementara pemerintah sendiri tidak mengupayakannya.
Hal tersebut diperparah kondisi generasi muda Dayak Meratus yang enggan mempelajari cara bertutur menurut kepercayaan mereka itu. Agama kepercayaan Kaharingan bagi masyarakat Adat Dayak Meratus erat kaitannya dengan aktivitas keseharian mereka seperti merambah hutan, berhuma, berburu dan pelaksanaan upacara adat. Namun saat ini sejalan dengan kemajuan ilmu dan teknologi kegiatan upacara keagamaan dan budaya masyarakat Adat Dayak Meratus telah mengalami pergeseran dan mulai kehilangan makna.
Jumat, 18 Maret 2011
profil komunitas dayak meratus kiyu
Dayak kiyu yang berdomisili di pegunungan Meratus di kaki Gunung Taniti Ranggang.Di sebelah timur halat (batas) desa kiyu dengan desa Juhu.Di sebelah barat halat (batas) dengan desa Hinas Kiri.Di sebelah selatan halat (batas) dengan desa sumbai dan desa Batu Perahu. Disebelah utara halat (batas) dengan desa Mangkiling. Dayak kiyu mayoritas penduduknya beragama kaharingan dan seluruh penduduk asli kampung tersebut. Kepercayaan yang dimiliki Masyarakat kampung kiyu cenderung kepercayaan akan roh nenek moyang karena ini merupakan kepercayaan yang turun enurun, terus-menerus melaksanakan ritual dan Masyarakat percaya bahwa roh nenek moyang dan keluarga mereka tinggal di pohon-pohon besar di hutan. Posisi rungku (rumah) Masyarakat kiyu berkelompok tepi sungai Pang Hiki.
Latar belakang terjadinya kampung Kiyu.
Pada suatu hari ada beberapa warga yang ingin mencari iwak (ikan) saat itu mereka kalau ingin mendapatkan iwak dengan cara Maliyu dan Manabat sungai (membandung sungai) dengan mengelihkan /memindahkan air sungai ke seluran yang sudah mereka sediakan . Cara ini mereka lakukan agar mendapat ikan yang lebih banyak. Dari sebutan Maliyu lah mereka memberi nama ‘KIYU’. Disebelah kiri ada sungai hulu kiyu dan di sebelah kanan ada sungai Panghiki. Diantara kedua belah sungai itu mereka menyebut Murung kiyu (kampung). Dari dua kata MALIYU dan MURUNG inilah mereka memberi nama dengan sebutan ‘KAMPUNG KIYU’.
Luas wilayah desa kiyu 7,632.48 hektar
Jumlah penduduk laki-laki : 83 jiwa
Jumlah penduduk perampuan : 78 jiwa
Jumlah umbun (kk) : 42 jiwa
Struktur Kelambagaan Masyarakat Kiyu
Kepala Adat dan Kepala Balai
Kepala Adat, merangkap menjadi penghulu (untuk menikahkan) sekaligus juga untuk permasalahan yang menyangkut adat istiadat, seperti menantukan Aruh (pesta adat). Kepala Balai, biasanya tinggal di Balai (rumah adat) dan juga bertugas sebagai pemimpin acara ritual (Aruh) dan dalam adat Dayak Meratus pimpinan acara Aruh disebut BALIAN (merupakan orang yang dipercaya untuk memimpin acara Aruh).
a. Manty
Manty; berfungsi sebagai untuk mengetahui di bidang pemerintahan.
b. Pang Irak
Pang Irak; bertugas mengelola masyarakat adat dan mecakup semua urusan-urusan yang ada di dalam masyarakat adat tersebut.
c. Kepala Padang
Kepala Padang; bertugas mengetahui seluruh kawasan atau wilayah kekuasaan masyarakat adat kampung kiyu dan mengetahui halat-halat (batas),Munjal (bukit) dan Lambak (lembah) yang menjadi warisan masyarakat yang satu dengan lain di dalam kampung tersebut.
Hukum Adat
Hukum adat yaitu, kebiasaan –kebiasaan yang terjadi dalam masyarakat yang dilakukan secara terus menerus dan akhirnya menjadi sebuah peraturan dalam masyarakat itu sendiri. Hukum adat suku dayak kiyu masih lekat dalam tata cara hidupnya sehari-hari tanpa melupakan Hukum Nasional.Seperti;Hukum Waris, Hukum Pertanahan, Hukum Perkawinan yang didasarnya adalah Hukum Adat Desa kiyu yang terbentuk dari kebiasaan masa lampau dari leluhur yang menjadi aturan-aturan hidup di Desa Kiyu.Waris leluhur ini menjadi budaya bagi mereka dan tetap di pertahankan sampai sekarang diantara cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan perkebangan yang ada.
Sangsi-sangsi
Sangsi merupakan tebusan atau bayaran kesalahan bagi yang melanggar peraturan hukum adat kiyu. Yang berupa; Tahil,Denda dan bayar Pitutuh. Sangsi ini bisanya pelanggaran pencurian,penebangan pohon tanpa ijin,pencamaran nama baik,pengambilan hak waris dan pemerkosaan.
Upacara Adat
Masyarakat adat kiyu memiliki ritual upacara adat yang secara turun menurun dan terus-menerus dilakukan.Upacara ini sendiri merupakan tradisi yang mengandung nilai budaya yang tinggi mereka warisi dari nenek moyang.
Bahuma atau berladang merupakan kegiatan utama masyarakat kiyu.Aktivitas ini menjadi identitas masyarakat kiyu, upacara ritual adat ini tidak selalu berkaitan dengan Bahuma. Puncak dari tradisi ritual Bahuma adalah aruh ganal (aruh besar),yakni pesta adat berupa syukuran atau selamatan yang dilakukan di balai (rumah adat). Aruh ganal disebut juga Bwanang Banih Halin atau upacara Mahanyari banih beras. Artinya ,melakukan acara selamatan karena terpenuhi hajat mendapat hasil padi yang baik selama bahuma tidak mendapat musibah
.
Basambu.Basambu, merupakan ritual masyarakat desa kiyu untuk menyembut padi yang sudah berubah untuk meminta pertolongan pada leluhur agar padi tumbuh baik dan dihindarkan dari gagal panen. Acara ini di laksanakan di dalam balaidan di lakukan oleh beberapa orang balian 1-3 malam pada akhir bulan maret ke awal bulan april.
Aruh Bawanang,(mahanyari).Aruh bawanang ini dilakukan dalam rangka menyembut panen banih (padi) dan baru bisa dilaksanakan setelah seluruh tandun/umbun (kelompok kepala keluarga) setelah selesai padinya. Upacara aruh ini biasanya dilaksanakan pada bulan juni selama 3-5 malam di balai adat kiyu.
Aruh ganal (penutup).merupakan aruh terakhir dan paling besar, biasanya dilaksanakan sampai tujuh hari tujuh malam di dalam balai,upacara ini di katakan pesta panen. Setelah selesai mengatam banih(penuai padi) berat dan waktunya ditentukan oleh Tatuha balai (pimpinan balai).Aruh ini biasanya dilaksanakan dalam kelender Masehi jatuh pada bulan september.
Kesenian
Kesenian atau tari masyarakat adat kiyu yaitu;Tari Bangsai,tari Kanjar dan tari Gintur. Tarian-tarian ini biasanya dilakukan pada saat upacara adat yaitu; aruh adat.(pesta adat)
.Tari ini dilakukan pada awal atau pada pembukaan acara adat akan dilaksanakan, yang di tarikan oleh orang tua maupun anak muda. Bahkan bagi para undangan pun diperbolehkan ikut mempertunjukakan kelincahannya dalam melentunkan tarian tersebut.
Mata Pencaharian
Sebagian besar mata pecaharian masyarakat kiyu bersifat homogen seperti bertani. Setiap pagi masyarakat kiyu pergi ke huma (ladang) dan manugal.Kemudian menjelang sore hari baru mereka kembali pulang, tetapi ada sebagian yang tinggal menetap di huma (ladang) selama masa tanam.Huma biasanya berjarak 3-5 km dari pemukiaman atau kampung. Kebanyakan di desa kiyu semua anggota keluarga ikut andil melakukan pekerjaan bahuma. Hasil pertaniannya tidak untuk di jual tetapi untuk dikonsumsi sendiri, hasil panen di simpan di kindai (lumbung) sebagai persediaan bahan makanan.Selain bertani untuk kebutuhan hidup masyarakat kiyu memamfaatkan potensi HHNK (hasil hutan non kayu) seperti; kemiri, irik , bamban, rotan, sarang semut dan getah damar, yang tanpa merusak tatan hukum adat. Usaha komersial yaitu ;berkebun kacang tanah, pisang, cabe rawit, bibit meranti dan panjang.
Langganan:
Postingan (Atom)